Di Indonesia, ekosistem esports menghadapi sebuah paradoks. Di satu sisi, jumlah penonton dan perhatian publik terus melonjak, terutama pada game mobile seperti Mobile Legends, namun di sisi lain, banyak organisasi kesulitan menjaga keseimbangan keuangan.
Biaya tetap tim (gaji roster utama, staf pelatih, analis, manajemen konten) meningkat jauh lebih cepat dibanding pemasukan dari sponsor, penjualan merchandise, hak siar, dan hadiah turnamen. Ketidakseimbangan ini menyoroti rapuhnya model bisnis yang selama ini lebih mengandalkan pertumbuhan eksposur daripada pertumbuhan pendapatan yang terukur.
Sumber Pendapatan Klub Esports di Indonesia
Sumber pendapatan utama klub di Indonesia masih sangat bergantung pada sponsor. Hadiah turnamen memang membantu, tetapi jarang menjadi penopang arus kas jangka panjang.
Bahkan ketika liga-liga lokal mencatat rekor penonton,final MPL Indonesia dalam beberapa musim terakhir menembus jutaan penonton serentak, skala monetisasi dari hak siar, lisensi konten, atau tiket acara offline belum mampu menutup beban biaya.
Banyak merek kini menuntut metrik ROI yang lebih ketat, kontrak yang lebih singkat, serta aktivasi yang benar-benar mendorong akuisisi pelanggan, sehingga pendapatan sponsor menjadi semakin fluktuatif.
Bangun Pondasi Finansial yang Sehat


Untuk membangun Pondasi finansial yang lebih sehat, organisasi dapat belajar dari industri lain yang menekankan nilai nyata. Dalam sektor seperti bukan perdagangankeberhasilan sering datang dari sistem yang mampu menjaga performa stabil dan hasil yang konsisten dari waktu ke waktu.
Dengan pola pikir serupa, klub esports perlu memiliki kebijakan gaji yang terstruktur, KPI yang jelas, serta insentif berbasis performa yang benar-benar memberikan imbalan pada pencapaian terukur, bukan pada pengeluaran yang tak terkendali.
Di tingkat domestik, sejumlah pelaku industri mengungkap bahwa batas bawah gaji untuk pemain liga utama sudah naik dibanding beberapa tahun lalu, sementara liga pengembangan (tier 2) masih berada di tingkat yang jauh lebih rendah.
Para bintang papan atas mendapatkan tambahan pendapatan dari endorsement, streaming, serta pembagian hadiah turnamen—tetapi hal ini hanya berlaku bagi segelintir pemain.
Bagi banyak tim, terutama yang belum mapan secara komersial, kenaikan gaji minimum serta tuntutan fasilitas (asrama, nutrisi, sport science, psikolog performa) memberi tekanan pada margin. Akibatnya, promosi pemain muda dari akademi sering menjadi satu-satunya cara untuk menjaga kualitas sekaligus menahan biaya.
Masalah Inti dari Segi Finansial


Masalah inti terletak pada unit ekonomi. Di banyak organisasi, gaji pemain dan staf kompetitif bisa menyerap 50–70% dari seluruh biaya operasional. Sementara itu, pendapatan sponsor bersifat musiman, dan penjualan merchandise maupun tiket acara offline masih belum stabil di berbagai kota.
Karakter penonton Indonesia yang digital-first memang mendorong angka tayangan tinggi, tetapi daya beli rata-rata serta konversi menuju pembelian produk klub belum merata. Pada saat yang sama, biaya produksi konten terus meningkat karena standar kualitas yang semakin tinggi.
Struktur liga juga mempengaruhi perilaku belanja. Ketika slot liga bersifat permanen (franchise atau kemitraan jangka panjang), ekspektasi performa dan tekanan untuk “membeli” talenta terbaik mendorong inflasi gaji.
Di ranah global, beberapa liga mulai bereksperimen dengan regulasi finansial—seperti pembatasan gaji (salary cap) plus “luxury tax”—untuk menyelaraskan biaya klub dengan kapasitas pendapatan. Indonesia dapat mengambil pelajaran dari model tersebut tanpa harus menyalinnya secara mentah: prinsip utamanya adalah menautkan keberlanjutan finansial dengan daya saing liga secara kolektif.
Apa yang Bisa Dilakukan Organisasi Esports di Indonesia?


Lalu, apa yang bisa dilakukan organisasi di Indonesia saat ini? Pertama, tetapkan rasio payroll: misalnya total gaji maksimal 50–60% dari pendapatan tahunan yang sudah “terkontrak” (sponsor yang ditandatangani, hak siar yang pasti, langganan konten berbayar), bukan dari proyeksi optimistis.
Kedua, ubah struktur kontrak menjadi kombinasi “gaji dasar + bonus performa” dengan metrik yang jelas (peringkat liga, pencapaian playoff, konten mingguan, jam siar), sehingga biaya meningkat hanya ketika hasil benar-benar tercapai.
Ketiga, perkuat monetisasi berbasis komunitas: keanggotaan berbayar dengan manfaat eksklusif (Discord privat, sesi coaching, pre-order jersey edisi terbatas), event lokal skala kecil-menengah di kota satelit, serta penjualan digital goods yang sesuai dengan budaya fans Indonesia.
Keempat, bangun akademi yang sungguh-sungguh—bukan sekadar label. Tujuannya ganda: menurunkan biaya akuisisi talenta (buyout pemain bintang bisa sangat mahal) dan meningkatkan peluang capital gain melalui transfer ke tim lain.
Akademi yang kuat juga memungkinkan desain roster yang fleksibel (promosi-demosi) sehingga tim utama tetap kompetitif tanpa harus menaikkan gaji seluruh pemain sekaligus.
Kelima, jadikan konten sebagai lini bisnis nyata, bukan hanya aktivitas branding. Paket IP klub (serial dokumenter, watch party resmi, podcast pelatih) untuk dijual ke mitra distribusi lokal atau platform OTT, sehingga menciptakan pemasukan di luar sponsor.
Peran Regulator dan Publisher Penting


Peran regulator dan penerbit (publisher) juga penting. Asosiasi nasional bisa mendorong standarisasi kontrak, kode etik transfer, serta perlindungan pemain agar negosiasi tetap sehat. Platform nasional yang menghubungkan atlet, tim, pelatih, dan turnamen dapat membantu membangun jalur karir yang lebih jelas dari amatir ke pro.
Dari sisi pemerintah, program dukungan untuk event dan industri kreatif dapat difokuskan pada insentif yang memacu pendapatan berulang (misalnya subsidi sewa venue untuk liga kota, bukan hanya festival sekali jalan), serta kejelasan pajak bagi talenta dan organisasi agar perencanaan keuangan lebih presisi.
Alih-alih hanya diukur lewat hadiah turnamen atau gaji bintang, arah pertumbuhan esports Indonesia ke depan akan semakin tercermin dari bagaimana klub, penggemar, dan mitra industri membentuk model kolaborasi baru.
Beberapa musim mendatang bisa menjadi ajang pembuktian, bukan hanya siapa yang mendominasi di dalam gim, tetapi juga organisasi mana yang berhasil mengubah gairah menjadi bisnis yang lebih stabil dan berkelanjutan.
Baca juga informasi menarik Gamebrott lainnya terkait Opini Atau Artikel Lainnya Dari Javier Ferdaano. Untuk bulu informasi lain dan pertanyaan lainnya, Anda dapat menghubungi kami melalui otor@gamebrott.capakah
News
Berita
News Flash
Blog
Technology
Sports
Sport
Football
Tips
Finance
Berita Terkini
Berita Terbaru
Berita Kekinian
News
Berita Terkini
Olahraga
Pasang Internet Myrepublic
Jasa Import China
Jasa Import Door to Door
Download Film
Gaming center adalah sebuah tempat atau fasilitas yang menyediakan berbagai perangkat dan layanan untuk bermain video game, baik di PC, konsol, maupun mesin arcade. Gaming center ini bisa dikunjungi oleh siapa saja yang ingin bermain game secara individu atau bersama teman-teman. Beberapa gaming center juga sering digunakan sebagai lokasi turnamen game atau esports.
Comments are closed, but trackbacks and pingbacks are open.